Skip navigation

Category Archives: origami

origami featured image

Sejak kecil, saya sangat tertarik (bahkan takjub) dengan Origami, yaitu seni melipat kertas yang katanya berasal dari tradisi Jepang. Buat saya, membuat bentuk 3 dimensi dari selembar kertas (yang menurut saya 2 dimensi) adalah hal yang menakjubkan. Seingat saya, ketertarikan ini dimulai pada usia kanak-kanak, saat saya diajari membuat pesawat kertas yang bisa diterbangkan. Lalu berlanjut ke membuat perahu, burung, sampai membuat beraneka topi dari kertas koran. Sekarang, saya bisa membuat sekitar 20an bentuk origami dari kertas, baik kertas origami (berbentuk bujursangkar), kertas dari buku tulis atau lembaran kertas fotokopi (berbentuk persegi panjang), kertas koran, kertas tissue maupun lembaran uang kertas. Ketrampilan ini saya peroleh dengan cara meniru orang lain (diajari kakak, om, guru atau teman-teman saya) maupun mengikuti instruksi dari buku & majalah. Beberapa orang pernah bertanya kepada saya, bagaimana saya bisa “hafal” cara membuat beraneka bentuk itu. Awalnya saya juga sulit menjawab pertanyaan itu. Tapi setelah mengingat & menganalisa proses yang saya alami, ternyata tidak jauh berbeda dengan proses saya bermusik.

origami 1Pertama adalah ketertarikan. Sama dengan di musik, saat pertama saya melihat karya origami, saya melihat keindahan di situ. (Saya punya keyakinan bahwa semua orang secara alami tertarik dengan keindahan. Kalau sampai ada orang yang tidak tertarik dengan keindahan, itu pasti hasil “belajar”.) Dari ketertarikan terhadap keindahan itu, muncul keinginan saya untuk juga bisa memproduksinya.

origami 4Maka hal kedua adalah mencari tahu bagaimana cara memproduksinya. Tidak terlalu sama dengan proses bermusik/bermain gitar, ternyata proses awal belajar membuat karya origami relatif lebih mudah & singkat, yaitu meniru apa yang dilakukan orang lain atau mengikuti petunjuk bergambar dari buku/majalah. Kalau di musik/bermain gitar, saya perlu mempelajari beberapa teknik dasar & bahasanya (notasi musik) terlebih dahulu sebelum bisa menghasilkan karya (memainkan lagu). Sementara di origami, teknik dasar (ketrampilan motorik halus) dan bahasanya (bahasa Indonesia & juga gambar) sudah “terpelajari” sebelumnya. Meniru proses pembuatan karya origami (dari orang lain atau buku) juga tidak sesulit kalau kita ingin meniru proses menghasilkan musik (dari permainan orang lain maupun notasi di partitur).

origami 2Hal ketiga adalah pengulangan atau repetisi. Ketika saya sudah mengetahui cara membuat suatu bentuk, maka saya akan sering membuat bentuk tersebut berulang kali. Mengapa? Karena saya menyukai prosesnya & juga senang dengan hasilnya. Mirip dengan di musik, hal ini disebut dengan latihan. Hanya saja di origami, proses latihan ini relatif lebih mudah karena lebih bisa dilakukan di berbagai tempat maupun kondisi & hanya perlu kertas (yang di era itu relatif mudah didapat). Kalau di musik/bermain gitar, saya perlu space yang lebih besar, tempat yang lebih private (tidak terlalu bising), memastikan orang lain tidak terganggu & juga perlu alat musik (yang tidak selalu tersedia di semua tempat). Proses latihan inilah yang banyak orang sering salah artikan dengan proses “menghafal”. Ingat, saya melakukannya berulang kali karena saya menyukai prosesnya & senang dengan hasilnya. Tidak saya rasakan adanya “usaha menghafal” di situ. Kalaupun saya lupa, ya saya tanya saja lagi sama yang bisa atau lihat saja lagi bukunya. Kalau keduanya tidak tersedia saat itu, ya tidak apa-apa. Lain kali akan saya tanya atau lihat bukunya, jadi tidak harus selesai saat itu juga. Dari pengulangan inilah terbentuknya ingatan. Ini mirip dengan proses yang terjadi saat saya belajar bermain gitar, yaitu menikmati proses latihan & hasilnya. Hal ini juga yang sering saya ingatkan ke murid-murid gitar saya bahwa hafal lagu/exercise adalah efek, bukan target. Yang diperlukan adalah menikmati proses latihan & hasilnya.

origami 5Menurut saya, menikmati proses latihan ini “harusnya” secara alami terjadi di setiap orang karena di dalamnya mengandung keindahan (menyadari bahwa proses ini akan menghasilkan keindahan & menyadari bahwa pengalaman itu sendiri adalah keindahan). Jika ada orang yang tidak menikmatinya, kemungkinan besar orang itu sudah “belajar” untuk tidak menyukai hal-hal tertentu walau mengandung keindahan. Itulah mungkin mengapa belajar musik (atau kesenian lain) lebih baik jika dimulai saat usia kanak-kanak, karena lebih sedikit “pelajaran” seperti labeling atau judging maupun belief yang mereka peroleh/alami. Kita mungkin sering melihat anak-anak yang memainkan/menyanyikan lagu yang sama (seperti Twinkle-twinkle Little Star) berulang kali tanpa ada masalah dengan hal itu. Sementara orang dewasa kemungkinan besar akan cepat bosan karena kegiatan itu dianggap kekanak-kanakan, lagunya dianggap terlalu sederhana & memalukan jika orang dewasa melakukannya. Kemungkinan orang dewasa melakukan kegiatan ini (memainkan satu lagu berulang kali & menikmatinya) adalah saat dia mabuk, karena saat itu dia lupa akan “pelajaran”nya. Tapi saat tersadar dari mabuknya, dia kemungkinan akan menyesalinya karena ingat lagi “pelajaran”nya. Jadi sebenarnya yang diperlukan adalah meng-unlearn “pelajaran”nya & kembali pada fitrahnya untuk menikmati setiap keindahan. origami 3Bagaimana caranya? Nah, itu yang belum saya kuasai karena saat ini pun saya sedang ingin meng-unlearn beberapa “pelajaran” di hidup saya (yang sepertinya kurang menguntungkan), tapi tampaknya belum menemukan cara yang tepat. Mungkin topik ini bisa kita bahas di lain waktu atau mungkin para orangtua/guru/pendidik/psikolog ada yang mau berbagi tips?

Sementara itu, kalau ada yang tertarik untuk bisa membuat bentuk-bentuk origami (misalnya seperti pada foto-foto di tulisan ini), silakan minta diajari saat ketemu saya ya. Sediakan kertasnya & siapkan diri untuk menikmatinya. Sampai jumpa!

– imada –